Pembangunan dunia di era globalisasi
menyisakan berbagai persoalan sosial ekonomi di berbagai negara utara dan
selatan. Dalam World Development Report
2013 yang diterbitkan oleh PBB menjelaskan bahwa permasalahan penting yang
dihadapi dunia saat ini yaitu terbatasnya lapangan pekerjaan yang dipengaruhi
oleh krisis ekonomi global, sehingga meningkatkan angka pengangguran terutama
bagi para pemuda di dunia. Tantangan yang dihadapi pemuda
saat ini sangat
berat, lebih dari 620 juta pemuda tidak bekerja atau memilih menuntut
ilmu hanya untuk menstabilkan tingkat pekerjaan (World Bank, 2013).
Sejalan dengan isu di atas, peran Indonesia sebagai negara anggota PBB
turut serta dalam mensukseskan tujuan Millenium
Develpment Goals (MDGs) yang dituangkan ke dalam Perencanaan Pembangunan
Nasional 2005-2025 yang disusun berlandaskan pro growth, pro job, pro poor
dan pro environment. Dalam dokumen
peta jalan (road map) MDGs Indonesia, salah satu upaya yang dilakukan yaitu mendukung
dan menyelesaikan pengentasan kemiskinan dalam tenggat waktu hingga 2015
(Bappenas, 2010 :3). Upaya pengentasan kemiskinan yang dilakukan yaitu dengan
memperluas kesempatan kerja, meningkatkan infrastruktur pendukung, serta
memperkuat sektor pertanian.
Saat ini upaya menurunkan tingkat kemiskinan sebagaimana diukur oleh garis
kemiskinan nasional baru mencapai 13,33 persen (2009), padahal target yang akan
dicapai sebesar 8-10 persen pada tahun 2014 (Bappenas, 2010 : 11). Faktanya
yang terjadi sekarang, negara sedang menghadapi krisis global yang menyebabkan
meningkatnya jumlah pengangguran terbuka, walaupun kondisinya masih lebih
rendah dibandingkan dengan negara maju, dimana Indonesia masih mengandalkan sektor
pertanian menjadi salah satu mata pencaharian alternatif bagi para penduduk. Meskipun
demikian, pada Triwulan II tahun 2012 sektor pertanian tersebut hanya mampu
menyumbangkan 0,5 persen terhadap Gross
Domestik Product (GDP), masih relatif kecil jika dibandingkan dengan
manufaktur (1,4%), perdagangan (1,6), dan Transportasi dan Komunikasi (1%)
dalam pertumbuhan ekonomi nasional (BPS, 2012 : 143).
Dalam menghadapi era globalisasi dan perdagangan bebas sekarang ini, Indonesia
sebagai salah satu negara yang memiliki potensi sektor pertanian seyogyanya memiliki
posisi tawar yang setara dengan negara-negara lain. Globalisasi dalam arti
liberalisasi perdagangan internasional menjanjikan berbagai dampak positif
dalam mengatasi kesenjangan antara produksi dan konsumsi dunia, namun
kenyataannya tidak selalu seperti yang diharapkan karena struktur pasar dunia
yang tidak kompetitif dan proteksi justru dilakukan oleh negara-negara yang
kuat. Sehingga pertanian di negeri ini semakin melemah bahkan dilemahkan oleh
agenda globaliasi tersebut.
Kondisi di atas membuktikan bahwa negara masih jauh mencapai tujuan MDGs
searah dengan pembangunan nasional dalam mengentaskan kemiskinan. Hasil sensus
pertanian 2003 menunjukkan fakta yang
memprihatinkan. Pertama, sebagian besar rumah tangga di Indonesia
masih menggantungkan hidup di sektor pertanian. Artinya, peranan
sektor non-pertanian untuk mampu menyerap tenaga kerja belum
berjalan seperti yang
diharapkan. Kedua, petani Indonesia semakin miskin sebagaimana terlihat
dari meningkatnya jumlah rumah tangga
petani gurem, baik secara absolut maupun berdasarkan persentase rumah tangga
petani gurem terhadap rumah tangga
pertanian pengguna lahan. Data BPS (2012 : 24) mencatat bahwa tingkat pengangguran
terbuka usia 15 tahun ke atas masih relatif tinggi, dimana 80 persen berada
pada rentang umur 15-34 tahun, sedangkan pada rentang 35-59 tahun (19,5 %) dan
60 tahun ke atas (0,5 %) dari total angkatan kerja nasional. Data tersebut menggambarkan
bahwa masalah pengangguran mayoritas dihadapi oleh penduduk berusia muda yang
sulit memperoleh pekerjaan dalam kondisi lemahnya pasar tenaga kerja secara
global.
Perhatian negara masih lemah mengatasi pengangguran dan penguatan pertanian
dalam mendorong perekonomian nasional. Dalam konteksnya sekarang, pembangunan
pertanian tetap memegang peran strategis terhadap pertumbuhan ekonomi nasional.
Dalam Rencana Strategis Kementrian Pertanian (2011 : 2) dijelaskan bahwa peran
strategis pertanian tersebut digambarkan dalam kontribusi nyata melalui
pembentukan kapital, penyediaan bahan pangan, bahan baku industri, pakan dan
bio-energi, penyerap tenaga kerja, sumber devisa negara, dan sumber pendapatan,
serta pelestarian lingkungan melalui praktek usaha tani yang ramah lingkungan.
Peran strategis ini sangat penting dilakukan dalam upaya mencapai pembangunan
nasional mengingat kebutuhan pangan penduduk perkotaan dan pedesaan sebesar 1.852,64
Kkal/Kapita/Hari (BPS, 2012 : 61). Untuk itu, upaya pengentasan kemiskinan
melalui perluasan lapangan kerja dan penguatan pertanian searah dengan
pembangunan pertanian Indonesia.
Dalam mencapai target MDGs yang sejalan dengan
arah pembangunan nasional perlu dilakukan upaya pembangunan pemuda di mulai
dari desa. Realitasnya bahwa pedesaan di Indonesia secara ekologis maupun
sosial-budaya dikenal sebagai basis pengembangan pertanian dalam mendorong
kebutuhan pangan secara nasional dan global. Dari desa pembangunan pemuda
dilakukan untuk mengembangkan potensi Sumber Daya Alam (SDA) yang ada dengan
kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) yang handal. Namun SDM pemuda di negeri ini
masih rendah. Data Statistik Kepemudaan 2010 mencatat bahwa tingkat pendidikan
pemuda di pedesaan yang hanya sampai tamat Sekolah Dasar (SD) dan Sekolah
Menengah Pertama (SMP) masing-masing sebesar 32,99 persen dan 32,44 persen,
sedangkan pemuda yang tamat Sekolah
Menengah Atas (SMA) dan Perguruan Tinggi masing-masing sebesar 20 persen dan
2,79 persen. Tingkat pendidikan pemuda di perkotaan masih relatif lebih baik
dibandingkan pemuda pedesaan, dimana pemuda yang menamatkan jenjang SD (15,41
%), SMP (30,03 %), SMA (41,22 %), dan PT (9,37 %), sisanya tidak sekolah atau
tidak tamat SD (Kemenpora RI., 2010 : 50). Data tersebut menunjukkan bahwa
negara masih lemah meningkatkan kualitas SDM pemuda sebagai aset bangsa yang
akan mampu mengelola kekayaan sumberdaya untuk mencapai kesetaraan dengan
negara maju.
Di tengah krisis ekonomi yang terjadi, peluang kerja di sektor formal
relatif kecil sehingga dibutuhkan upaya membuka alternatif lapangan pekerjaan bagi
para pemuda pedesaan melalui pengembangan di sektor pertanian. Data Statistik
Kepemudaan 2010 mencatat bahwa 53,68 persen pemuda pedesaan bekerja di sektor
pertanian (Kemenpora RI., 2010 : 58). Pemuda di pedesaan tidak punya pilihan
lain menggantungkan mata pencahariannya sebagai petani dengan kapasitas SDM
yang terbatas. Untuk itu, pembangunan pemuda pertanian sangat manarik untuk
dikaji dalam proses pencapaian pembangunan nasional 2025.
Pernyataan yang menyebutkan bahwa umumnya pemuda Indonesia kurang minat bekerja
di sektor pertanian merupakan fakta yang tidak dapat dibantah. Saat ini sektor
pertanian kurang memberikan harapan yang cerah bagi peningkatan ekonomi rumah
tangga petani, namun pilihan tersebut menjadi sebuah keharusan bagi keluarga
petani untuk memenuhi kebutuhannya, yang hasilnya diharapakan mampu merubah
nasib keluarganya untuk bisa bekerja di sektor non-pertanian. Seperti yang
dikemukanan oleh Hall, et al (2011, dalam White, 2011 : 6) menjelaskan “there is increasing evidence from across
Southeast Asia that farmers would like to get out of agriculture themselves
and, even more, that they hope their children will not become farmers.” Realitas
sosial budaya masyarakat Indonesia tidak membahtah terkait rendahnya minat
pemuda memilih sektor pertanian sebagai mata pencaharian utama. Umumnya bagi
pemuda pedesaan berpendidikan tinggi (tamat PT) akan memilih pekerjaan di
sektor non-pertanian yang memberikan kebanggaan bagi keluarga, sedangkan bagi
yang hanya tamat SD bahkan SMP dan SMA akan akan memilih tinggal di desa
dan/atau menjadi petani disebabkan oleh tidak mampu bersaing di pasar dunia
kerja.
Data Statistik Kepemudaan 2010 mencatat bahwa jumlah pemuda pedesaan yang
bekerja berdasarkan tingkat pendidikan masih didominasi oleh pemuda yang hanya
tamat SD (32,63 %), SMP (29,40 %) dan SMA (20,31 %), sedangkan PT relatif kecil
jumlahnya sebesar 3,42 persen (Kemenpora RI.,2010 : 60). Angka tersebut
menunjukkan bahwa kondisi pemuda pedesaan yang mayoritas mengandalkan
penghidupannya di sektor pertanian identik dengan kualitas SDM yang rendah.
Pilihan pemuda pedesaan untuk bertani merupakan jalan bagi mereka untuk
membantu kebutuhan keluarga walaupun dalam konteksnya kecenderungan sektor pertanian
banyak menyisakan permasalahan bagi petani kecil. Hal ini disebabkan oleh
struktur sosial ekonomi di negara ini tidak berpihak pada pembangunan pertanian
yang mensejahterakan rakyat, sehingga pemuda semakin teralienasi terhadap
sektor pertanian.
Pertanian saat ini dalam kondisi di persimpangan jalan, realitas yang
terjadi saat ini petani terpinggirkan oleh akibat sistem yang membuat mereka
semakin dalam kehidupan yang sulit. Hal ini dapat dilihat dari konteks sosial
ekonomi yang melanda sektor pertanian negeri ini, yaitu : 1) Kebijakan ekonomi
pasar bebas memberikan peluang bagi negara untuk membuka keran investasi dan impor
komoditas pertanian yang tidak diiringi dengan penguatan kapasitas petani di
tingkat lokal sehingga semakin menambah ketatnya persaingan pasar dalam negeri yang
menyebabkan permintaan produk dalam negeri semakin menurun. 2) Minimnya
infrastruktur dalam mendukung aktivitas pertanian rumah tangga petani
menyebabkan rendahnya produktivitas pertanian itu sendiri, lahan pertanian
semakin sempit, mayoritas petani di negeri ini mengandalkan hidupnya sebagai
buruh tani. 3) Kebutuhan pada sarana produksi pertanian (Saprotan) yang
mengandung unsur kimiawi semakin merusak kelestarian lingkungan dan
keseimbangan alam sehingga mempengaruhi sistem ekologis dalam konteks sosial
ekonomi masyarakat. Dalam konteksnya, ketiga kondisi di atas menjadi hambatan
dalam proses pembangunan pertanian secara holistik di negeri ini.
Sistem pertanian negeri ini belum mencapai kecukupan pangan secara merata
dan berkesinambungan dalam mewujudkan kemandirian pangan berkelanjutan. Para pengambil
kebijakan lebih mengutamakan pencapaian dan percepatan pertumbuhan ekonomi yang
tinggi, tetapi mengabaikan dimensi keadilan bagi kesejahteraan petani kecil. Hasil
sensus pertanian 2003 dalam Rencana Strategis (Renstra) Kementrian Pertanian
(Kementan) RI 2010 – 2014 mencatat terjadinya ketimpangan penguasaan tanah di
pedesaan. Jumlah rumah tangga
petani gurem, yaitu
rumah tangga pertanian
yang menguasai lahan
kurang dari 0,5 ha, meningkat 2,4 persen pertahun, dari 10,8 juta pada
tahun 1993 menjadi 13,7 juta rumah tangga
pada tahun 2003, kemudian juga dari hasil penelitian
yang dilaksanakan oleh Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian pada tahun
2008, rataan pemilikan lahan petani di pedesaan sebesar 0,41 ha di Jawa dan
0.96 ha di Luar Jawa, dan dalam periode 1995 – 2007 rataan pemilikan lahan
cenderung menurun (Kementan RI., 2010 : 31). Kondisi kepemilikan lahan tersebut
antara lain disebabkan oleh meningkatnya konversi lahan pertanian untuk
keperluan pemukiman dan fasilitas umum serta terjadinya fragmentasi lahan
karena proses pewarisan, khususnya untuk lahan beragroekosistem sawah dan lahan
kering tanaman pangan khususnya untuk agroekosistem persawahan di wilayah Jawa.
Kebijakan impor komoditas pangan yang berlebihan merupakan lemahnya peran
negara untuk meningkatkan produksi pangan dalam negeri. Lahan pertanian semakin
sempit disebabkan salah satunya negara tidak mampu mengontrol alih fungsi
(konversi) lahan pertanian. Masalah ini muncul seiring dengan semakin tinggi
dan bertambahnya kebutuhan dan permintaan terhadap lahan sebagai dampak
kegiatan pembangunan. Sensus pertanian tahun 2003 mencatat bahwa selama periode
1983-1993 konversi lahan pertanian mencapai 1.280.268 ha, dan sebagian besar
terjadi di Jawa (79,3 persen), kemudian selama periode 1993-2003, besaran
konversi lahan pertanian relatif tidak mengalami perubahan yang berarti, yaitu
sebesar 1.264.140 ha, dan sebagian besar terjadi di Sumatera (92,3 persen). Besaran
laju alih fungsi lahan pertanian dari lahan sawah ke non sawah sebesar 187.720
ha per tahun, dengan rincian alih fungsi ke non pertanian sebesar 110.164 ha
per tahun dan alih fungsi ke pertanian lainnya sebesar 77.556 ha per tahun, adapun
alih fungsi lahan kering pertanian ke non pertanian sebesar 9.152 ha per tahun
(Kementan RI., 2010 : 32). Akibatnya negara melakukan peningkatan produksi
pangan dengan mengandalkan teknologi yang cepat menghasilkan dalam keadaan
sumberdaya lahan yang terbatas.
Penerapan teknologi pertanian yang digunakan adalah teknologi yang bertumpu
pada masukan produksi yang cepat memperoleh hasil, berupa bibit/varietas unggul
monokultur, pupuk buatan (kimia), pestisida sintetik, zat pengatur tumbuh,
penyediaan air pengairan dan mekanisasi pertanian dengan teknologi tinggi. Untuk
peningkatan produktivitas pangan sangat tergantung pada penggunaan input
produksi sehingga lahan pertanian cepat memperoleh hasil yang diharapkan. Kondisinya
saat ini, petani semakin tergantung terhadap pupuk dan pestisida dengan harga yang
relatif sangat mahal. Ketergantungan petani terhadap peningkatan penggunaan input
produksi kimiawi menunjukkan bahwa kesuburan dan daya dukung lingkungan tanah
pertanian kita sudah demikian menurunnya sehingga lahan semakin tidak dapat
menghasilkan tingkat produktivitas yang diinginkan tanpa input produksi
tersebut. Kebergantungan produksi pertanian terhadap input produksi kimiawi
menggambarkan tingginya biaya produksi dalam upaya mempertahankan produtkivitas
pangan diiringi dengan munculnya gangguan sistemik terhadap fungsi ekologis
lahan pertanian.
Pada umumnya, keterampilan petani (khususnya pemuda tani) masih rendah dalam
hal melakukan teknik budidaya dan pengolahan pasca panen yang berpengaruh pada perolehan
pendapatan dari aktivitas pertanian tersebut. Petani di negeri ini identik
dengan profesi yang tidak efisien dengan menggunakan teknologi yang rendah, kecenderungan
petani melakukan aktivitas pertanian menggunakan teknik budidaya yang secara
turun-temurun dilakukan oleh para pendahulunya. Begitu juga dalam pengolahan
pasca panen, hasil komoditas pertanian tidak dilakukan sesuai dengan standar
permintaan pasar yang mampu memberikan nilai tambah, baik dari segi harga
maupun kualitas yang dihasilkan. Kondisi ini disebabkan oleh lemahnya
pengorganiasasian petani di tingkat kelompok, peran penyuluh belum sesuai yang
diharapkan oleh petani, sehingga membuat soidaritas petani menjadi lemah.
Lemahnya solidaritas tersebut juga mempengaruhi
posisi petani dalam memperjuangkan hak-haknya. Petani kurang mampu mengakses
pasar dalam mendistribusikan hasil-hasil pertaniannya, ketika musim panen raya
terjadi permintaan pasar mempengaruhi stabilitas harga, sampai pada posisi
harga terendah agar hasil tersebut bisa dijual. Mekanisme pasar menuntut petani
ikut dalam arena tersebut dengan harapan produk hasil pertaniannya laku terjual
untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Namun mekanisme pasar ternyata membuat
petani semakin sulit memprediksi penghasilannya, bahkan rela menerima penghasilan
yang rendah akibat harga jual yang merosot tajam. Kondisi ini menjadi sebuah
problematika yang terjadi di kalangan petani di negeri ini. Modernisasi sektor
pertanian mengantarkan pada suatu realitas peningkatan produktivitas sebagai
ukuran pertumbuhan pembangunan yang mengedepankan peran pemodal sebagai
pendorong kemajuan ekonomi, serta mengalienasi petani kecil yang hidup dalam
kesusahan.