Sabtu, 23 Maret 2013

Realitas Pemuda dalam Pembangunan

Pembangunan dunia di era globalisasi menyisakan berbagai persoalan sosial ekonomi di berbagai negara utara dan selatan. Dalam World Development Report 2013 yang diterbitkan oleh PBB menjelaskan bahwa permasalahan penting yang dihadapi dunia saat ini yaitu terbatasnya lapangan pekerjaan yang dipengaruhi oleh krisis ekonomi global, sehingga meningkatkan angka pengangguran terutama bagi para pemuda di dunia. Tantangan yang dihadapi pemuda saat ini sangat berat, lebih dari 620 juta pemuda tidak bekerja atau memilih menuntut ilmu hanya untuk menstabilkan tingkat pekerjaan (World Bank, 2013).
Sejalan dengan isu di atas, peran Indonesia sebagai negara anggota PBB turut serta dalam mensukseskan tujuan Millenium Develpment Goals (MDGs) yang dituangkan ke dalam Perencanaan Pembangunan Nasional 2005-2025 yang disusun berlandaskan pro growth, pro job, pro poor dan pro environment. Dalam dokumen peta jalan (road map) MDGs Indonesia, salah satu upaya yang dilakukan yaitu mendukung dan menyelesaikan pengentasan kemiskinan dalam tenggat waktu hingga 2015 (Bappenas, 2010 :3). Upaya pengentasan kemiskinan yang dilakukan yaitu dengan memperluas kesempatan kerja, meningkatkan infrastruktur pendukung, serta memperkuat sektor pertanian.
Saat ini upaya menurunkan tingkat kemiskinan sebagaimana diukur oleh garis kemiskinan nasional baru mencapai 13,33 persen (2009), padahal target yang akan dicapai sebesar 8-10 persen pada tahun 2014 (Bappenas, 2010 : 11). Faktanya yang terjadi sekarang, negara sedang menghadapi krisis global yang menyebabkan meningkatnya jumlah pengangguran terbuka, walaupun kondisinya masih lebih rendah dibandingkan dengan negara maju, dimana Indonesia masih mengandalkan sektor pertanian menjadi salah satu mata pencaharian alternatif bagi para penduduk. Meskipun demikian, pada Triwulan II tahun 2012 sektor pertanian tersebut hanya mampu menyumbangkan 0,5 persen terhadap Gross Domestik Product (GDP), masih relatif kecil jika dibandingkan dengan manufaktur (1,4%), perdagangan (1,6), dan Transportasi dan Komunikasi (1%) dalam pertumbuhan ekonomi nasional (BPS, 2012 : 143).
Dalam menghadapi era globalisasi dan perdagangan bebas sekarang ini, Indonesia sebagai salah satu negara yang memiliki potensi sektor pertanian seyogyanya memiliki posisi tawar yang setara dengan negara-negara lain. Globalisasi dalam arti liberalisasi perdagangan internasional menjanjikan berbagai dampak positif dalam mengatasi kesenjangan antara produksi dan konsumsi dunia, namun kenyataannya tidak selalu seperti yang diharapkan karena struktur pasar dunia yang tidak kompetitif dan proteksi justru dilakukan oleh negara-negara yang kuat. Sehingga pertanian di negeri ini semakin melemah bahkan dilemahkan oleh agenda globaliasi tersebut.
Kondisi di atas membuktikan bahwa negara masih jauh mencapai tujuan MDGs searah dengan pembangunan nasional dalam mengentaskan kemiskinan. Hasil sensus pertanian 2003 menunjukkan  fakta  yang  memprihatinkan.  Pertama,  sebagian besar rumah tangga di Indonesia masih menggantungkan hidup di sektor pertanian. Artinya,  peranan  sektor  non-pertanian  untuk mampu menyerap tenaga kerja  belum  berjalan  seperti  yang  diharapkan. Kedua, petani Indonesia semakin miskin sebagaimana terlihat dari meningkatnya jumlah  rumah tangga petani gurem, baik secara absolut maupun berdasarkan persentase rumah tangga petani  gurem terhadap rumah tangga pertanian pengguna lahan. Data BPS (2012 : 24) mencatat bahwa tingkat pengangguran terbuka usia 15 tahun ke atas masih relatif tinggi, dimana 80 persen berada pada rentang umur 15-34 tahun, sedangkan pada rentang 35-59 tahun (19,5 %) dan 60 tahun ke atas (0,5 %) dari total angkatan kerja nasional. Data tersebut menggambarkan bahwa masalah pengangguran mayoritas dihadapi oleh penduduk berusia muda yang sulit memperoleh pekerjaan dalam kondisi lemahnya pasar tenaga kerja secara global.
Perhatian negara masih lemah mengatasi pengangguran dan penguatan pertanian dalam mendorong perekonomian nasional. Dalam konteksnya sekarang, pembangunan pertanian tetap memegang peran strategis terhadap pertumbuhan ekonomi nasional. Dalam Rencana Strategis Kementrian Pertanian (2011 : 2) dijelaskan bahwa peran strategis pertanian tersebut digambarkan dalam kontribusi nyata melalui pembentukan kapital, penyediaan bahan pangan, bahan baku industri, pakan dan bio-energi, penyerap tenaga kerja, sumber devisa negara, dan sumber pendapatan, serta pelestarian lingkungan melalui praktek usaha tani yang ramah lingkungan. Peran strategis ini sangat penting dilakukan dalam upaya mencapai pembangunan nasional mengingat kebutuhan pangan penduduk perkotaan dan pedesaan sebesar 1.852,64 Kkal/Kapita/Hari (BPS, 2012 : 61). Untuk itu, upaya pengentasan kemiskinan melalui perluasan lapangan kerja dan penguatan pertanian searah dengan pembangunan pertanian Indonesia.
  Dalam mencapai target MDGs yang sejalan dengan arah pembangunan nasional perlu dilakukan upaya pembangunan pemuda di mulai dari desa. Realitasnya bahwa pedesaan di Indonesia secara ekologis maupun sosial-budaya dikenal sebagai basis pengembangan pertanian dalam mendorong kebutuhan pangan secara nasional dan global. Dari desa pembangunan pemuda dilakukan untuk mengembangkan potensi Sumber Daya Alam (SDA) yang ada dengan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) yang handal. Namun SDM pemuda di negeri ini masih rendah. Data Statistik Kepemudaan 2010 mencatat bahwa tingkat pendidikan pemuda di pedesaan yang hanya sampai tamat Sekolah Dasar (SD) dan Sekolah Menengah Pertama (SMP) masing-masing sebesar 32,99 persen dan 32,44 persen, sedangkan pemuda yang  tamat Sekolah Menengah Atas (SMA) dan Perguruan Tinggi masing-masing sebesar 20 persen dan 2,79 persen. Tingkat pendidikan pemuda di perkotaan masih relatif lebih baik dibandingkan pemuda pedesaan, dimana pemuda yang menamatkan jenjang SD (15,41 %), SMP (30,03 %), SMA (41,22 %), dan PT (9,37 %), sisanya tidak sekolah atau tidak tamat SD (Kemenpora RI., 2010 : 50). Data tersebut menunjukkan bahwa negara masih lemah meningkatkan kualitas SDM pemuda sebagai aset bangsa yang akan mampu mengelola kekayaan sumberdaya untuk mencapai kesetaraan dengan negara maju.
Di tengah krisis ekonomi yang terjadi, peluang kerja di sektor formal relatif kecil sehingga dibutuhkan upaya membuka alternatif lapangan pekerjaan bagi para pemuda pedesaan melalui pengembangan di sektor pertanian. Data Statistik Kepemudaan 2010 mencatat bahwa 53,68 persen pemuda pedesaan bekerja di sektor pertanian (Kemenpora RI., 2010 : 58). Pemuda di pedesaan tidak punya pilihan lain menggantungkan mata pencahariannya sebagai petani dengan kapasitas SDM yang terbatas. Untuk itu, pembangunan pemuda pertanian sangat manarik untuk dikaji dalam proses pencapaian pembangunan nasional 2025.
Pernyataan yang menyebutkan bahwa umumnya pemuda Indonesia kurang minat bekerja di sektor pertanian merupakan fakta yang tidak dapat dibantah. Saat ini sektor pertanian kurang memberikan harapan yang cerah bagi peningkatan ekonomi rumah tangga petani, namun pilihan tersebut menjadi sebuah keharusan bagi keluarga petani untuk memenuhi kebutuhannya, yang hasilnya diharapakan mampu merubah nasib keluarganya untuk bisa bekerja di sektor non-pertanian. Seperti yang dikemukanan oleh Hall, et al (2011, dalam White, 2011 : 6) menjelaskan “there is increasing evidence from across Southeast Asia that farmers would like to get out of agriculture themselves and, even more, that they hope their children will not become farmers.” Realitas sosial budaya masyarakat Indonesia tidak membahtah terkait rendahnya minat pemuda memilih sektor pertanian sebagai mata pencaharian utama. Umumnya bagi pemuda pedesaan berpendidikan tinggi (tamat PT) akan memilih pekerjaan di sektor non-pertanian yang memberikan kebanggaan bagi keluarga, sedangkan bagi yang hanya tamat SD bahkan SMP dan SMA akan akan memilih tinggal di desa dan/atau menjadi petani disebabkan oleh tidak mampu bersaing di pasar dunia kerja.
Data Statistik Kepemudaan 2010 mencatat bahwa jumlah pemuda pedesaan yang bekerja berdasarkan tingkat pendidikan masih didominasi oleh pemuda yang hanya tamat SD (32,63 %), SMP (29,40 %) dan SMA (20,31 %), sedangkan PT relatif kecil jumlahnya sebesar 3,42 persen (Kemenpora RI.,2010 : 60). Angka tersebut menunjukkan bahwa kondisi pemuda pedesaan yang mayoritas mengandalkan penghidupannya di sektor pertanian identik dengan kualitas SDM yang rendah. Pilihan pemuda pedesaan untuk bertani merupakan jalan bagi mereka untuk membantu kebutuhan keluarga walaupun dalam konteksnya kecenderungan sektor pertanian banyak menyisakan permasalahan bagi petani kecil. Hal ini disebabkan oleh struktur sosial ekonomi di negara ini tidak berpihak pada pembangunan pertanian yang mensejahterakan rakyat, sehingga pemuda semakin teralienasi terhadap sektor pertanian.
Pertanian saat ini dalam kondisi di persimpangan jalan, realitas yang terjadi saat ini petani terpinggirkan oleh akibat sistem yang membuat mereka semakin dalam kehidupan yang sulit. Hal ini dapat dilihat dari konteks sosial ekonomi yang melanda sektor pertanian negeri ini, yaitu : 1) Kebijakan ekonomi pasar bebas memberikan peluang bagi negara untuk membuka keran investasi dan impor komoditas pertanian yang tidak diiringi dengan penguatan kapasitas petani di tingkat lokal sehingga semakin menambah ketatnya persaingan pasar dalam negeri yang menyebabkan permintaan produk dalam negeri semakin menurun. 2) Minimnya infrastruktur dalam mendukung aktivitas pertanian rumah tangga petani menyebabkan rendahnya produktivitas pertanian itu sendiri, lahan pertanian semakin sempit, mayoritas petani di negeri ini mengandalkan hidupnya sebagai buruh tani. 3) Kebutuhan pada sarana produksi pertanian (Saprotan) yang mengandung unsur kimiawi semakin merusak kelestarian lingkungan dan keseimbangan alam sehingga mempengaruhi sistem ekologis dalam konteks sosial ekonomi masyarakat. Dalam konteksnya, ketiga kondisi di atas menjadi hambatan dalam proses pembangunan pertanian secara holistik di negeri ini.
Sistem pertanian negeri ini belum mencapai kecukupan pangan secara merata dan berkesinambungan dalam mewujudkan kemandirian pangan berkelanjutan. Para pengambil kebijakan lebih mengutamakan pencapaian dan percepatan pertumbuhan ekonomi yang tinggi, tetapi mengabaikan dimensi keadilan bagi kesejahteraan petani kecil. Hasil sensus pertanian 2003 dalam Rencana Strategis (Renstra) Kementrian Pertanian (Kementan) RI 2010 – 2014 mencatat terjadinya ketimpangan penguasaan tanah di pedesaan. Jumlah  rumah  tangga  petani  gurem,  yaitu  rumah  tangga  pertanian  yang  menguasai  lahan  kurang dari 0,5 ha, meningkat 2,4 persen pertahun, dari 10,8 juta pada tahun 1993 menjadi 13,7 juta  rumah  tangga  pada  tahun  2003, kemudian juga dari hasil penelitian yang dilaksanakan oleh Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian pada tahun 2008, rataan pemilikan lahan petani di pedesaan sebesar 0,41 ha di Jawa dan 0.96 ha di Luar Jawa, dan dalam periode 1995 – 2007 rataan pemilikan lahan cenderung menurun (Kementan RI., 2010 : 31). Kondisi kepemilikan lahan tersebut antara lain disebabkan oleh meningkatnya konversi lahan pertanian untuk keperluan pemukiman dan fasilitas umum serta terjadinya fragmentasi lahan karena proses pewarisan, khususnya untuk lahan beragroekosistem sawah dan lahan kering tanaman pangan khususnya untuk agroekosistem persawahan di  wilayah Jawa.
Kebijakan impor komoditas pangan yang berlebihan merupakan lemahnya peran negara untuk meningkatkan produksi pangan dalam negeri. Lahan pertanian semakin sempit disebabkan salah satunya negara tidak mampu mengontrol alih fungsi (konversi) lahan pertanian. Masalah ini muncul seiring dengan semakin tinggi dan bertambahnya kebutuhan dan permintaan terhadap lahan sebagai dampak kegiatan pembangunan. Sensus pertanian tahun 2003 mencatat bahwa selama periode 1983-1993 konversi lahan pertanian mencapai 1.280.268 ha, dan sebagian besar terjadi di Jawa (79,3 persen), kemudian selama periode 1993-2003, besaran konversi lahan pertanian relatif tidak mengalami perubahan yang berarti, yaitu sebesar 1.264.140 ha, dan sebagian besar terjadi di Sumatera (92,3 persen). Besaran laju alih fungsi lahan pertanian dari lahan sawah ke non sawah sebesar 187.720 ha per tahun, dengan rincian alih fungsi ke non pertanian sebesar 110.164 ha per tahun dan alih fungsi ke pertanian lainnya sebesar 77.556 ha per tahun, adapun alih fungsi lahan kering pertanian ke non pertanian sebesar 9.152 ha per tahun (Kementan RI., 2010 : 32). Akibatnya negara melakukan peningkatan produksi pangan dengan mengandalkan teknologi yang cepat menghasilkan dalam keadaan sumberdaya lahan yang terbatas.
Penerapan teknologi pertanian yang digunakan adalah teknologi yang bertumpu pada masukan produksi yang cepat memperoleh hasil, berupa bibit/varietas unggul monokultur, pupuk buatan (kimia), pestisida sintetik, zat pengatur tumbuh, penyediaan air pengairan dan mekanisasi pertanian dengan teknologi tinggi. Untuk peningkatan produktivitas pangan sangat tergantung pada penggunaan input produksi sehingga lahan pertanian cepat memperoleh hasil yang diharapkan. Kondisinya saat ini, petani semakin tergantung terhadap pupuk dan pestisida dengan harga yang relatif sangat mahal. Ketergantungan petani terhadap peningkatan penggunaan input produksi kimiawi menunjukkan bahwa kesuburan dan daya dukung lingkungan tanah pertanian kita sudah demikian menurunnya sehingga lahan semakin tidak dapat menghasilkan tingkat produktivitas yang diinginkan tanpa input produksi tersebut. Kebergantungan produksi pertanian terhadap input produksi kimiawi menggambarkan tingginya biaya produksi dalam upaya mempertahankan produtkivitas pangan diiringi dengan munculnya gangguan sistemik terhadap fungsi ekologis lahan pertanian.
Pada umumnya, keterampilan petani (khususnya pemuda tani) masih rendah dalam hal melakukan teknik budidaya dan pengolahan pasca panen yang berpengaruh pada perolehan pendapatan dari aktivitas pertanian tersebut. Petani di negeri ini identik dengan profesi yang tidak efisien dengan menggunakan teknologi yang rendah, kecenderungan petani melakukan aktivitas pertanian menggunakan teknik budidaya yang secara turun-temurun dilakukan oleh para pendahulunya. Begitu juga dalam pengolahan pasca panen, hasil komoditas pertanian tidak dilakukan sesuai dengan standar permintaan pasar yang mampu memberikan nilai tambah, baik dari segi harga maupun kualitas yang dihasilkan. Kondisi ini disebabkan oleh lemahnya pengorganiasasian petani di tingkat kelompok, peran penyuluh belum sesuai yang diharapkan oleh petani, sehingga membuat soidaritas petani menjadi lemah.
Lemahnya solidaritas tersebut juga mempengaruhi posisi petani dalam memperjuangkan hak-haknya. Petani kurang mampu mengakses pasar dalam mendistribusikan hasil-hasil pertaniannya, ketika musim panen raya terjadi permintaan pasar mempengaruhi stabilitas harga, sampai pada posisi harga terendah agar hasil tersebut bisa dijual. Mekanisme pasar menuntut petani ikut dalam arena tersebut dengan harapan produk hasil pertaniannya laku terjual untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Namun mekanisme pasar ternyata membuat petani semakin sulit memprediksi penghasilannya, bahkan rela menerima penghasilan yang rendah akibat harga jual yang merosot tajam. Kondisi ini menjadi sebuah problematika yang terjadi di kalangan petani di negeri ini. Modernisasi sektor pertanian mengantarkan pada suatu realitas peningkatan produktivitas sebagai ukuran pertumbuhan pembangunan yang mengedepankan peran pemodal sebagai pendorong kemajuan ekonomi, serta mengalienasi petani kecil yang hidup dalam kesusahan.