Jumat, 01 Juni 2018

Sabtu, 23 Maret 2013

Realitas Pemuda dalam Pembangunan

Pembangunan dunia di era globalisasi menyisakan berbagai persoalan sosial ekonomi di berbagai negara utara dan selatan. Dalam World Development Report 2013 yang diterbitkan oleh PBB menjelaskan bahwa permasalahan penting yang dihadapi dunia saat ini yaitu terbatasnya lapangan pekerjaan yang dipengaruhi oleh krisis ekonomi global, sehingga meningkatkan angka pengangguran terutama bagi para pemuda di dunia. Tantangan yang dihadapi pemuda saat ini sangat berat, lebih dari 620 juta pemuda tidak bekerja atau memilih menuntut ilmu hanya untuk menstabilkan tingkat pekerjaan (World Bank, 2013).
Sejalan dengan isu di atas, peran Indonesia sebagai negara anggota PBB turut serta dalam mensukseskan tujuan Millenium Develpment Goals (MDGs) yang dituangkan ke dalam Perencanaan Pembangunan Nasional 2005-2025 yang disusun berlandaskan pro growth, pro job, pro poor dan pro environment. Dalam dokumen peta jalan (road map) MDGs Indonesia, salah satu upaya yang dilakukan yaitu mendukung dan menyelesaikan pengentasan kemiskinan dalam tenggat waktu hingga 2015 (Bappenas, 2010 :3). Upaya pengentasan kemiskinan yang dilakukan yaitu dengan memperluas kesempatan kerja, meningkatkan infrastruktur pendukung, serta memperkuat sektor pertanian.
Saat ini upaya menurunkan tingkat kemiskinan sebagaimana diukur oleh garis kemiskinan nasional baru mencapai 13,33 persen (2009), padahal target yang akan dicapai sebesar 8-10 persen pada tahun 2014 (Bappenas, 2010 : 11). Faktanya yang terjadi sekarang, negara sedang menghadapi krisis global yang menyebabkan meningkatnya jumlah pengangguran terbuka, walaupun kondisinya masih lebih rendah dibandingkan dengan negara maju, dimana Indonesia masih mengandalkan sektor pertanian menjadi salah satu mata pencaharian alternatif bagi para penduduk. Meskipun demikian, pada Triwulan II tahun 2012 sektor pertanian tersebut hanya mampu menyumbangkan 0,5 persen terhadap Gross Domestik Product (GDP), masih relatif kecil jika dibandingkan dengan manufaktur (1,4%), perdagangan (1,6), dan Transportasi dan Komunikasi (1%) dalam pertumbuhan ekonomi nasional (BPS, 2012 : 143).
Dalam menghadapi era globalisasi dan perdagangan bebas sekarang ini, Indonesia sebagai salah satu negara yang memiliki potensi sektor pertanian seyogyanya memiliki posisi tawar yang setara dengan negara-negara lain. Globalisasi dalam arti liberalisasi perdagangan internasional menjanjikan berbagai dampak positif dalam mengatasi kesenjangan antara produksi dan konsumsi dunia, namun kenyataannya tidak selalu seperti yang diharapkan karena struktur pasar dunia yang tidak kompetitif dan proteksi justru dilakukan oleh negara-negara yang kuat. Sehingga pertanian di negeri ini semakin melemah bahkan dilemahkan oleh agenda globaliasi tersebut.
Kondisi di atas membuktikan bahwa negara masih jauh mencapai tujuan MDGs searah dengan pembangunan nasional dalam mengentaskan kemiskinan. Hasil sensus pertanian 2003 menunjukkan  fakta  yang  memprihatinkan.  Pertama,  sebagian besar rumah tangga di Indonesia masih menggantungkan hidup di sektor pertanian. Artinya,  peranan  sektor  non-pertanian  untuk mampu menyerap tenaga kerja  belum  berjalan  seperti  yang  diharapkan. Kedua, petani Indonesia semakin miskin sebagaimana terlihat dari meningkatnya jumlah  rumah tangga petani gurem, baik secara absolut maupun berdasarkan persentase rumah tangga petani  gurem terhadap rumah tangga pertanian pengguna lahan. Data BPS (2012 : 24) mencatat bahwa tingkat pengangguran terbuka usia 15 tahun ke atas masih relatif tinggi, dimana 80 persen berada pada rentang umur 15-34 tahun, sedangkan pada rentang 35-59 tahun (19,5 %) dan 60 tahun ke atas (0,5 %) dari total angkatan kerja nasional. Data tersebut menggambarkan bahwa masalah pengangguran mayoritas dihadapi oleh penduduk berusia muda yang sulit memperoleh pekerjaan dalam kondisi lemahnya pasar tenaga kerja secara global.
Perhatian negara masih lemah mengatasi pengangguran dan penguatan pertanian dalam mendorong perekonomian nasional. Dalam konteksnya sekarang, pembangunan pertanian tetap memegang peran strategis terhadap pertumbuhan ekonomi nasional. Dalam Rencana Strategis Kementrian Pertanian (2011 : 2) dijelaskan bahwa peran strategis pertanian tersebut digambarkan dalam kontribusi nyata melalui pembentukan kapital, penyediaan bahan pangan, bahan baku industri, pakan dan bio-energi, penyerap tenaga kerja, sumber devisa negara, dan sumber pendapatan, serta pelestarian lingkungan melalui praktek usaha tani yang ramah lingkungan. Peran strategis ini sangat penting dilakukan dalam upaya mencapai pembangunan nasional mengingat kebutuhan pangan penduduk perkotaan dan pedesaan sebesar 1.852,64 Kkal/Kapita/Hari (BPS, 2012 : 61). Untuk itu, upaya pengentasan kemiskinan melalui perluasan lapangan kerja dan penguatan pertanian searah dengan pembangunan pertanian Indonesia.
  Dalam mencapai target MDGs yang sejalan dengan arah pembangunan nasional perlu dilakukan upaya pembangunan pemuda di mulai dari desa. Realitasnya bahwa pedesaan di Indonesia secara ekologis maupun sosial-budaya dikenal sebagai basis pengembangan pertanian dalam mendorong kebutuhan pangan secara nasional dan global. Dari desa pembangunan pemuda dilakukan untuk mengembangkan potensi Sumber Daya Alam (SDA) yang ada dengan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) yang handal. Namun SDM pemuda di negeri ini masih rendah. Data Statistik Kepemudaan 2010 mencatat bahwa tingkat pendidikan pemuda di pedesaan yang hanya sampai tamat Sekolah Dasar (SD) dan Sekolah Menengah Pertama (SMP) masing-masing sebesar 32,99 persen dan 32,44 persen, sedangkan pemuda yang  tamat Sekolah Menengah Atas (SMA) dan Perguruan Tinggi masing-masing sebesar 20 persen dan 2,79 persen. Tingkat pendidikan pemuda di perkotaan masih relatif lebih baik dibandingkan pemuda pedesaan, dimana pemuda yang menamatkan jenjang SD (15,41 %), SMP (30,03 %), SMA (41,22 %), dan PT (9,37 %), sisanya tidak sekolah atau tidak tamat SD (Kemenpora RI., 2010 : 50). Data tersebut menunjukkan bahwa negara masih lemah meningkatkan kualitas SDM pemuda sebagai aset bangsa yang akan mampu mengelola kekayaan sumberdaya untuk mencapai kesetaraan dengan negara maju.
Di tengah krisis ekonomi yang terjadi, peluang kerja di sektor formal relatif kecil sehingga dibutuhkan upaya membuka alternatif lapangan pekerjaan bagi para pemuda pedesaan melalui pengembangan di sektor pertanian. Data Statistik Kepemudaan 2010 mencatat bahwa 53,68 persen pemuda pedesaan bekerja di sektor pertanian (Kemenpora RI., 2010 : 58). Pemuda di pedesaan tidak punya pilihan lain menggantungkan mata pencahariannya sebagai petani dengan kapasitas SDM yang terbatas. Untuk itu, pembangunan pemuda pertanian sangat manarik untuk dikaji dalam proses pencapaian pembangunan nasional 2025.
Pernyataan yang menyebutkan bahwa umumnya pemuda Indonesia kurang minat bekerja di sektor pertanian merupakan fakta yang tidak dapat dibantah. Saat ini sektor pertanian kurang memberikan harapan yang cerah bagi peningkatan ekonomi rumah tangga petani, namun pilihan tersebut menjadi sebuah keharusan bagi keluarga petani untuk memenuhi kebutuhannya, yang hasilnya diharapakan mampu merubah nasib keluarganya untuk bisa bekerja di sektor non-pertanian. Seperti yang dikemukanan oleh Hall, et al (2011, dalam White, 2011 : 6) menjelaskan “there is increasing evidence from across Southeast Asia that farmers would like to get out of agriculture themselves and, even more, that they hope their children will not become farmers.” Realitas sosial budaya masyarakat Indonesia tidak membahtah terkait rendahnya minat pemuda memilih sektor pertanian sebagai mata pencaharian utama. Umumnya bagi pemuda pedesaan berpendidikan tinggi (tamat PT) akan memilih pekerjaan di sektor non-pertanian yang memberikan kebanggaan bagi keluarga, sedangkan bagi yang hanya tamat SD bahkan SMP dan SMA akan akan memilih tinggal di desa dan/atau menjadi petani disebabkan oleh tidak mampu bersaing di pasar dunia kerja.
Data Statistik Kepemudaan 2010 mencatat bahwa jumlah pemuda pedesaan yang bekerja berdasarkan tingkat pendidikan masih didominasi oleh pemuda yang hanya tamat SD (32,63 %), SMP (29,40 %) dan SMA (20,31 %), sedangkan PT relatif kecil jumlahnya sebesar 3,42 persen (Kemenpora RI.,2010 : 60). Angka tersebut menunjukkan bahwa kondisi pemuda pedesaan yang mayoritas mengandalkan penghidupannya di sektor pertanian identik dengan kualitas SDM yang rendah. Pilihan pemuda pedesaan untuk bertani merupakan jalan bagi mereka untuk membantu kebutuhan keluarga walaupun dalam konteksnya kecenderungan sektor pertanian banyak menyisakan permasalahan bagi petani kecil. Hal ini disebabkan oleh struktur sosial ekonomi di negara ini tidak berpihak pada pembangunan pertanian yang mensejahterakan rakyat, sehingga pemuda semakin teralienasi terhadap sektor pertanian.
Pertanian saat ini dalam kondisi di persimpangan jalan, realitas yang terjadi saat ini petani terpinggirkan oleh akibat sistem yang membuat mereka semakin dalam kehidupan yang sulit. Hal ini dapat dilihat dari konteks sosial ekonomi yang melanda sektor pertanian negeri ini, yaitu : 1) Kebijakan ekonomi pasar bebas memberikan peluang bagi negara untuk membuka keran investasi dan impor komoditas pertanian yang tidak diiringi dengan penguatan kapasitas petani di tingkat lokal sehingga semakin menambah ketatnya persaingan pasar dalam negeri yang menyebabkan permintaan produk dalam negeri semakin menurun. 2) Minimnya infrastruktur dalam mendukung aktivitas pertanian rumah tangga petani menyebabkan rendahnya produktivitas pertanian itu sendiri, lahan pertanian semakin sempit, mayoritas petani di negeri ini mengandalkan hidupnya sebagai buruh tani. 3) Kebutuhan pada sarana produksi pertanian (Saprotan) yang mengandung unsur kimiawi semakin merusak kelestarian lingkungan dan keseimbangan alam sehingga mempengaruhi sistem ekologis dalam konteks sosial ekonomi masyarakat. Dalam konteksnya, ketiga kondisi di atas menjadi hambatan dalam proses pembangunan pertanian secara holistik di negeri ini.
Sistem pertanian negeri ini belum mencapai kecukupan pangan secara merata dan berkesinambungan dalam mewujudkan kemandirian pangan berkelanjutan. Para pengambil kebijakan lebih mengutamakan pencapaian dan percepatan pertumbuhan ekonomi yang tinggi, tetapi mengabaikan dimensi keadilan bagi kesejahteraan petani kecil. Hasil sensus pertanian 2003 dalam Rencana Strategis (Renstra) Kementrian Pertanian (Kementan) RI 2010 – 2014 mencatat terjadinya ketimpangan penguasaan tanah di pedesaan. Jumlah  rumah  tangga  petani  gurem,  yaitu  rumah  tangga  pertanian  yang  menguasai  lahan  kurang dari 0,5 ha, meningkat 2,4 persen pertahun, dari 10,8 juta pada tahun 1993 menjadi 13,7 juta  rumah  tangga  pada  tahun  2003, kemudian juga dari hasil penelitian yang dilaksanakan oleh Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian pada tahun 2008, rataan pemilikan lahan petani di pedesaan sebesar 0,41 ha di Jawa dan 0.96 ha di Luar Jawa, dan dalam periode 1995 – 2007 rataan pemilikan lahan cenderung menurun (Kementan RI., 2010 : 31). Kondisi kepemilikan lahan tersebut antara lain disebabkan oleh meningkatnya konversi lahan pertanian untuk keperluan pemukiman dan fasilitas umum serta terjadinya fragmentasi lahan karena proses pewarisan, khususnya untuk lahan beragroekosistem sawah dan lahan kering tanaman pangan khususnya untuk agroekosistem persawahan di  wilayah Jawa.
Kebijakan impor komoditas pangan yang berlebihan merupakan lemahnya peran negara untuk meningkatkan produksi pangan dalam negeri. Lahan pertanian semakin sempit disebabkan salah satunya negara tidak mampu mengontrol alih fungsi (konversi) lahan pertanian. Masalah ini muncul seiring dengan semakin tinggi dan bertambahnya kebutuhan dan permintaan terhadap lahan sebagai dampak kegiatan pembangunan. Sensus pertanian tahun 2003 mencatat bahwa selama periode 1983-1993 konversi lahan pertanian mencapai 1.280.268 ha, dan sebagian besar terjadi di Jawa (79,3 persen), kemudian selama periode 1993-2003, besaran konversi lahan pertanian relatif tidak mengalami perubahan yang berarti, yaitu sebesar 1.264.140 ha, dan sebagian besar terjadi di Sumatera (92,3 persen). Besaran laju alih fungsi lahan pertanian dari lahan sawah ke non sawah sebesar 187.720 ha per tahun, dengan rincian alih fungsi ke non pertanian sebesar 110.164 ha per tahun dan alih fungsi ke pertanian lainnya sebesar 77.556 ha per tahun, adapun alih fungsi lahan kering pertanian ke non pertanian sebesar 9.152 ha per tahun (Kementan RI., 2010 : 32). Akibatnya negara melakukan peningkatan produksi pangan dengan mengandalkan teknologi yang cepat menghasilkan dalam keadaan sumberdaya lahan yang terbatas.
Penerapan teknologi pertanian yang digunakan adalah teknologi yang bertumpu pada masukan produksi yang cepat memperoleh hasil, berupa bibit/varietas unggul monokultur, pupuk buatan (kimia), pestisida sintetik, zat pengatur tumbuh, penyediaan air pengairan dan mekanisasi pertanian dengan teknologi tinggi. Untuk peningkatan produktivitas pangan sangat tergantung pada penggunaan input produksi sehingga lahan pertanian cepat memperoleh hasil yang diharapkan. Kondisinya saat ini, petani semakin tergantung terhadap pupuk dan pestisida dengan harga yang relatif sangat mahal. Ketergantungan petani terhadap peningkatan penggunaan input produksi kimiawi menunjukkan bahwa kesuburan dan daya dukung lingkungan tanah pertanian kita sudah demikian menurunnya sehingga lahan semakin tidak dapat menghasilkan tingkat produktivitas yang diinginkan tanpa input produksi tersebut. Kebergantungan produksi pertanian terhadap input produksi kimiawi menggambarkan tingginya biaya produksi dalam upaya mempertahankan produtkivitas pangan diiringi dengan munculnya gangguan sistemik terhadap fungsi ekologis lahan pertanian.
Pada umumnya, keterampilan petani (khususnya pemuda tani) masih rendah dalam hal melakukan teknik budidaya dan pengolahan pasca panen yang berpengaruh pada perolehan pendapatan dari aktivitas pertanian tersebut. Petani di negeri ini identik dengan profesi yang tidak efisien dengan menggunakan teknologi yang rendah, kecenderungan petani melakukan aktivitas pertanian menggunakan teknik budidaya yang secara turun-temurun dilakukan oleh para pendahulunya. Begitu juga dalam pengolahan pasca panen, hasil komoditas pertanian tidak dilakukan sesuai dengan standar permintaan pasar yang mampu memberikan nilai tambah, baik dari segi harga maupun kualitas yang dihasilkan. Kondisi ini disebabkan oleh lemahnya pengorganiasasian petani di tingkat kelompok, peran penyuluh belum sesuai yang diharapkan oleh petani, sehingga membuat soidaritas petani menjadi lemah.
Lemahnya solidaritas tersebut juga mempengaruhi posisi petani dalam memperjuangkan hak-haknya. Petani kurang mampu mengakses pasar dalam mendistribusikan hasil-hasil pertaniannya, ketika musim panen raya terjadi permintaan pasar mempengaruhi stabilitas harga, sampai pada posisi harga terendah agar hasil tersebut bisa dijual. Mekanisme pasar menuntut petani ikut dalam arena tersebut dengan harapan produk hasil pertaniannya laku terjual untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Namun mekanisme pasar ternyata membuat petani semakin sulit memprediksi penghasilannya, bahkan rela menerima penghasilan yang rendah akibat harga jual yang merosot tajam. Kondisi ini menjadi sebuah problematika yang terjadi di kalangan petani di negeri ini. Modernisasi sektor pertanian mengantarkan pada suatu realitas peningkatan produktivitas sebagai ukuran pertumbuhan pembangunan yang mengedepankan peran pemodal sebagai pendorong kemajuan ekonomi, serta mengalienasi petani kecil yang hidup dalam kesusahan.

Minggu, 11 Juli 2010

JEJAK PANGAN BERAS DI MAMASA



Buku yang merupakan hasil penelitian ini diterbitkan dengan tujuan untuk mendesiminasi satu dari sekian banyak ilmu pengetahuan yang belum terkuak di Mamasa. Selain itu, buku ini ingin menunjukkan bahwa Indonesia masih memiliki wilayah yang para petaninya masih mempertahankan cara produksi tradisional dalam bertani. Pilihan atas cara produksi ini, bukanlah berangkat atas “fanatisme adat”. Melainkan, petani belajar atas realitas alam mereka.

Buku ini tidak akan terbit tanpa adanya fasilitas atau dukungan pendanaan dari Veco Indonesia yang telah memberikan kepercayaan kepada kami. Juga Yayasan Duta Pelayanan Masyarakat (YDPM) yang telah banyak membantu kami selama pelaksanaan penelitian di lapangan.

Untuk itu, atas terlaksananya penelitian dan terbitnya buku ini, kami ucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada Veco Indonesia atas kepercayaan yang diberikan tersebut. Tak lupa ucapan terima kasih kami sampaikan kepada Kepala Desa Mambulilling dan Bambangbuda serta para informan yang telah memberikan informasi kepada kami dengan penuh kekeluargaan dan kehangatan selama berlangsungnya penelitian lapangan. Tanpa mereka, rasanya penelitian ini tidak akan memperoleh hasil sebagaimana yang diharapkan. Begitupun kepada kawan-kawan YDPM yang tak dapat kami sebutkan satu per satu, kami ucapkan terima kasih atas waktu dan kerjasamanya sewaktu penelitian lapang ini berlangsung. Khusus kami sampaikan kepada guru sekaligus orang tua kami Bapak Dr. Ir. Sajogyo atas saran dan masukan yang berharga dalam memperkaya penelitian ini. Juga kepada Bapak Dr. Ir. Bayu Krisnamurthi, MS (Wakil Menteri Pertanian RI) yang berkenan memberikan kata pengantar dalam buku ini. Serta kepada teman-teman di Bogor, kami sampaikan ucapan terima kasih atas persahabatannya.

Akhirnya, apa yang dihasilkan dari penelitian ini kiranya dapat dijadikan sebagai bahan pembelajaran bersama untuk “memuliakan petani” di Ibu Pertiwi ini.

Bogor, Juni 2010

Tim Penyusun,




Sofyan Sjaf, M. Syafar Supardjan, Arman

Selasa, 23 Maret 2010

Paradigma Pendidikan Nasional

Peradaban manusia sepanjang sejarah dunia ditentukan oleh perkembangan ilmu pengetahuan. Wibisono (1983) dalam bukunya menyatakan pada abad ke- 19 merupakan abad yang sangat berpengaruh terhadap kemajuan ilmu pengetahuan modern di dunia Barat, diantaranya : lahirnya filsafat positivisme.[1] Ilmu pengetahuan sebagai ilmu yang mempelajari keterkaitan yang berlaku di dalam dunia realitas menuju kepada kebenaran dalam menjawab realitas itu sendiri, sehingga ilmu pengetahuan di dunia ini selalu “berkembang” sesuai dengan konteksnya ke arah yang lebih maju.

Kemajuan ilmu pengetahuan itu sendiri telah melahirkan paradigma dalam mengungkap hakikat ilmu yang sebenarnya. Dalam Salim (2001), paradigma diartikan sebagai seperangkat kepercayaan atau keyakinan dasar yang menuntun seseorang dalam bertindak dalam kehidupan sehari-hari.[2] Paradigma ilmu pengetahuan tersebut membentuk model atau kerangaka berfikir para Ilmuan menurut bidang dan langkah-langkah ilmiah masing-masing di dalam menjawab realitas itu sendiri. Tradisi Descartes (1596-1650) dan para penerusnya yang mengembangkan cara pandang positivisme menjadi sejumlah aliran paradigma baru sebagai landasan ilmu pengetahuan dalam berbagai bidang kehidupan.

Manusia hidup di dunia yang selalu mengalami perubahan dalam semua aspek kehidupan. Suwarsono dan Alfin (1994) menyatakan teori modernisasi yang lahir pada tahun 1950-an merupakan paradigma utama.[3] Teori ini muncul pasca perang dunia II yang ditandai kemunculan Amerika Serikat sebagai Negara Adidaya dalam mempengaruhi Negara-negara berkembang yang baru merdeka (dunia ketiga) di Asia, Afrika, dan Amerika Latin. Namun teori ini mendapat kritik dengan munculnya teori ketergantungan dan keterbelakangan akhir 1960-an. Pada pertengahan tahun 1970-an muncul pula ke permukaan paradigma baru yang menguji isu-isu pembangungan, yaitu : teori sistem ekonomi-dunia (the world system). Ilmu pengetahuan bukan sesuatu yang statis, melainkan berjalan dinamis yang akan memberikan terwujudnya transformasi baru. Inilah yang menjadi tugas dunia pendidikan, mengamati semua aspek-aspek realitas kehidupan manusia dengan menemukan dan menjawab masalah-masalah sosial secara ilmiah.

Mangunpranoto (1978) mendefiniskan pendidikan ialah suatu usaha untuk mengantar manusia menemukan pribadinya sebagai orang dewasa yang dapat berdiri sendiri dan penuh tanggung jawab, sehingga dengan begitu ia dapat dengan bebas mengembangkan cipta, rasa, dan karsanya supaya bisa berbakti kepada nusa dan bangsa dan seluruh umat manusia.[4] Peran pendidikan dipahami bukan saja pada konteks mikro, melainkan juga pada konteks makro, yaitu kepentingan masyarakat negara, bangsa dan kemanusian.[5]

Paradigma pendidikan nasional dalam penataan dan pengembangan sistem pendidikan nasional mampu mengakomodasikan berbagai pandangan secara efektif sehingga terdapat keterpaduan dalam konsep. Brubacher dalam bukunya, Modern Philosophies Education (1978), memulai pembahasannya tentang hubungan pendidikan dengan perubahan sosial, tatanan ekonomi, politik, dan budaya Negara (Jalal, 2001). Sebab pendidikan terjadi di masyarakat, dengan sumberdaya masyarakat, dan untuk masyarakat, maka pendidikan dituntut untuk mampu memperhitungkan dan melakukan antisipasi terhadap perkembangan sosial, ekonomi, politik, dan budaya bangsa secara simultan.

Emile Durkhiem (1858-1917) sebagai seorang sosiolog optimis memandang pendidikan sebagai hak semua orang dan juga sebagai sarana kaum miskin untuk meningkat menjadi pemimpin-pemimpin masyarakat (Robinson, 1986).[6] Selanjutnya dalam Jong (1984) Durkheim mengira bahwa pendidikan dapat menjadi sarana untuk menanggulangi disintegrasi sosial yang ditimbulkan oleh pembagian kerja, dimana pendidikan untuk melayani kebutuhan masyarakat industri dalam keadaan perpecahan moril dan kekacauan sosial.[7] Menurutnya, kurikulum pendidikan di jaman Renaissance mengagungkan suatu kebudayaan elit yang ekslusif dan menutup bagi mayoritas penduduk. Di Indonesia, sistem pendidikan yang dilaksanakan oleh kaum penjajah memiliki tujuan tertentu, karena pendidikan ditujukan untuk kepentingan penjajahan, sehingga cara seperti itu mendapatkan pertentangan dari beberapa perguruan Nasional seperti Muhammadiyah, Taman Mahasiswa dan lain-lain, yang menggunakan pendidikan sebagai sistem perjuangan kebudayaan dan pengembangan masyarakat untuk mencapai cita-cita kemerdekaan bangsa (Mangunpranoto, 1978).

Durkheim dalam Jong (1984) menjelaskan bahwa masyarakat hanya dapat hidup langgeng apabila derajat homogenitas di antara para anggotanya mencukupi : pendidikan melangsungkan dan memperkuat homogenitas itu dengan menanamkan dalam diri anak sejak awal, persamaan-persamaan hakiki yang dituntut oleh kehidupan bersama, dengan demikian pendidikan hanyalah merupakan sarana bagi masyarakat untuk mempersiapkan, dalam diri anak-anak, kondisi yang hakiki dari kehadirannya sendiri. Lebih jauh lagi, Yusuf (1985) menyatakan bahwa revolusi industri membawa pengaruh yang luar biasa besarnya terhadap cara berfikir, berbuat dan merasa perorangan, keluarga dan masyarakat dimana terjadi atomisasi dari jalannya mesin-mesin pabrik mengakibatkan permintaan jenis tenaga kerja yang ahli, terampil, dan mahir mengontrol.[8] Inilah sebab-sebab mengapa paradigma pendidikan sangat dipengaruhi oleh kondisi sosial yang kontekstual, yaitu secara makro dan mikro mampu menjawab tantangan serta mengantarkan masyarakat menuju perubahan sosial yang baru menuju kehidupan yang demokratis, religius, dan tangguh menghadapi tantangan globalisasi yang semakin kompetitif dengan mempersiapkan peserta didik yang memiliki kapasitas di bidang keilmuannya masing-masing.

Dalam konteks kebudayaan, secara tradisonal pendidikan memiliki tugas dan peran secara konservatif harus meneruskan dan mengawetkan kebudayaan bangsa tersebut. Pendidikan di Indonesia mempunyai tantangan yang sangat kuat yang menyangkut masalah nilai, sikap, dan mental yang selalu dinamis. Menurut Koentjoroningrat dalam Yusuf (1985) bahwa sistem nilai budaya yang merupakan bagian dari kebudayaan yang berfungsi sebagai pengarah dan pendorong tingkah laku suatu masyarakat yang mempunyai konsep abstrak yang hidup dalam pikiran masyarakat, sehingga untuk merubahnya bukanlah pekerjaan yang mudah. Koentjoroningrat mendefinisikan sikap adalah potensi pendorong yang ada dalam jiwa manusia sebagai individu bereaksi terhadap lingkungannya yang dapat dipengaruhi oleh norma-norma serta konsep-konsep nilai-nilai budaya yang dianutnya.

Santoso (1981) menyatakan bahwa pendidikan sebenarnya merupakan suatu tugas etika dasar (a fundamental ethical basic) yang tidak boleh menyimpang dari sendi-sendi etika.[9] Sebab pendidikan itu mencakup pertimbangan-pertimbangan etik dan nilai-nilai budaya yang sifatnya mutlak untuk kehidupan manusia yang berbudaya dalam menjaga kehormatan pendidikan itu sendiri. Pendidikan adalah usaha sadar manusia untuk memanusiakan manusia yang mampu mengmbangkan akal, budi, dan dayanya hingga mampu mengatur dirinya, mampu berdiri sendiri, dan mencukupi segala kebutuhannya (magunpranoto, 1978). Membina kesadaran moral yang tinggi tidak hanya di peroleh dalam pendidikan formal saja melainkan di pendidikan non-formal seperti dituliskan Manheim dalam Jong (1984) bahwa salah satu penemuan yang paling menentukan dalam abad kita adalah bahwa pendidikan masyarakat (non-formal) itu lebih hebat dari pada pendidikan formal, dimana seperangkat nilai menjadi dasar integrasi sosial ke dalam apa yang dinamai ‘masyarakat demokratis.’

Pendidikan dalam kehidupan manusia sebagai alat perjuangan untuk memajukan hak dan martabat manusia itu sendiri. Paulo Freire dalam bukunya pedadogy of the oprpressed di bab pertama berbicara mengenai akan kebutuhan pendidikan bagi kaum tertindas bahwa pendidikan sebagai proses humanisasi dan merupakan panggilan manusia sejati yang harus diperjuangkan dalam melawan penindasan dimana dunia dan manusia berada dalam interaksi.[10] Weiler dalam Robinson (1986) mencoba mencoba member corak pada sebagain besar mengenai pembahasan mengenai masalah-masalah Dunia Ketiga sebagai termasuk dalam suatu “zaman lugu” (age of innocence) yang berasumsi bahwa bagaimanapun pendidikan akan mendatangkan keadilan yang lebih besar pada distribusi penghasilan, barang-barang dan status. Akan tetapi ia juga berpendapat bahwa kini sedang muncul suatu “zaman skeptis,” dimana pendididkan dipandang sebagai tergantung pada perubahan-perubahan ekonomi politik masyarakat bersangkutan. Sebab sektor perekonomian modern Dunia Ketiga cenderung didominasi oleh perusahaan-perusahaan Negara dan Multinasional, dan memiliki daya tarik bagi masyarakat Dunia Ketiga oleh karena inilah sektor dimana upah dibayarkan secara teratur, yakni gaji bulanan. (Makalah Kerja Sektor Pendidikan Bank Dunia dalam Robinson, 1986).

Institusi pendidikan sebagai organisasi penyelenggara pendidikan harus mampu memiliki visi pendidikan yang mengutamakan kemandirian menuju keunggulan untuk meraih kemajuan dan kemakmuran berdasarkan nilai-nilai falsafah bangsa. Kemandirian diartikan mengandung sejumlah unsur penting, yaitu kemampuan, sifat-sifat demokratis, toleran, kreatif, kompetitif, estetis, kritis, bijaksana, dan moral (Jalal 2001). Untuk menjaga kemandirian tersebut, diperlukan lembaga pendidikan yang memiliki komitmen kuat dalam menjaga mutu sesuai dengan kecenderungan globalisasi dan kepentingan bangsa. Sebab salah satu tugas bangsa Indonesia adalah membangkitkan kesadaran dalam mengatasi masalah pengentasan kemiskinan, pengangguran, dan masalah-masalah sosial ekonomi lainnya dengan melakukan tindakan nyata melalui peningkatan kompetensi berbasis nilai dan budaya bangsa. Untuk itu, dibutuhkan metode pengajaran dan pembelajaran yang tidak hanya memandang pedidikan sebagai aspek mikro saja, melainkan peningkatan aspek makro dalam rangka membangun kesadaran kritis dalam melakukan perubahan sosial dan ekonomi bangsa. Penyelenggara pendidikan sebagai organisasi pelayanan memiliki tugas dan tanggung jawab dalam meningkatkan kualitas pendidikan. Dengan melakukan kontrol terhadap sistem pengendalain dan penilaian kelembagaan secara menyeluruh.



[1] Wibisono, Koento. 1983. Arti Perkembangan Menurut Filsafat Positivisme Auguste Comte. Gadjah Mada University Press: Yogyakarta.

[2] Salim, Agus. 2001. Teori dan Paradigma Penelitian Sosial (dari Denzin Guba dan Penerapannya). PT. Tiara Wacana: Yogyakarta.

[3] Suwarsono & Alvin Y. So. 1994. Perubahan Sosial dan Pembangunan. LP3ES : Jakarka.

[4] Mangunpranoto, Sarino. 1978. Pendidikan sebagai Sistem Perjuangan Kemerdekaan Indonesia. Yayasan Idayu: Jakarta.

[5] Jalal, Faisal & Dedi Supriadi. 2001. Reformasi Pendidikan dalam Konteks Otonomi Daerah. Adicita Karya Nusa: Yogyakarta.

[6] Robinson, Philips. 1986. Beberapa Perspektif Sosiologi Pendidikan. CV. Rajawali; Jakarta.

[7] Jong, S.C.N. de. 1984. Sosiologi Pendidikan; Suatu Ikhtisar tentang Pendidikan, Perkembangan dan Modernisasi. PT. Sangkala Pulsar: Jakarta.

[8] Yusuf, Maftuchah. 1985. Program Pendidikan dan Kebudayaan dalam Pembangunan Nasional. Fakultas Pascasarjana IKIP Jakarta bekerja sama dengan BKKBN: Jakarta.

[9] Santoso, Iman Slamet. 1981. Pembinaan Watak Tugas Utama Pendidikan. UI Press: Jakarta.

[10] Freire, Paulo. 1984. Pendidikan, Pembebasan, Perubahan Sosial. PT. Sangkala Pulsar: Jakarta.

Minggu, 14 Februari 2010

14 Februari 2010

Satu tahun sudah aku menjalani hidupku sebagai Asisten Pribadi Prof. Sajogyo. Pada tanggal ini beliau memintaku untuk menjadi asistennya untuk mendampingi beliau semasa hidupnya di akhir-akhir masa tuanya. Banyak pelajaran dan tantangan bersama beliau, pelajaran hidup adalah proses yang sangat aku rasakan bersamanya. Hidup penuh dengan ketabahan, kesabaran, dan ujian yang harus selalu dihadapi dengan tulus dan ikhlas, itulah yang aku rasakan hidup bersamanya.

Berprilaku arif dan bijaksana dalam setiap gerak kehidupan merupakan realitas kehidupan yang beliau jalani. Tidak ada kata yang beliau ucapkan kecuali kata yang bermakna sebagai pesan-pesan kehidupan kepada generasi penerusnya. Hidup dengan ketegasan dan keteguhan diri, berdasarkan akal pikiran dan hati, yang membuat kehidupan itu beliau selalu syukuri dalam keadaan suka dan duka.

Orang tua yang dalam keadaan lemah tak berdaya melawan realitas kehidupan yang dijalani, membuat diriku merasa kagum akan ketabahannya. Melalui latihan-latihan kejiwaan yang dilakukan sejak lima dekade yang lalu, sampai hari ini pun, beliau terus menjalaninya. Sebab dengan berserah diri kepada Sang Pemilik kehidupan, serasa hidup ini hanya beliau darma baktikan kepadaNya, Tuhan Sang Maha Pencipta langit dan bumi beserta isinya.

Hidup yang tidak selalu berlebihan, cukup sandang, pangan, dan papan. Makan dengan lauk-pauk seadanya, dilakukan dengan pelan-pelan, mengunyah sampai 30 kali setiap suapan sendok makan, minum setelah makan dihabiskan, merupakan ciri beliau dalam menyantap makanan. Berkeliling di halaman rumah di pagi hari sambil menjemur tubuh, sebagai bentuk mensyukuri nikmat sinar matahari yang menerangi bumi beserta isinya yang diperoleh secara gratis. Tak lupa sambil melihat jam tangan, pukul 06.15 – 07.05 WIB menyempatkan lihat bus IPB yang melintas di depan rumahnya, sebagai rasa bangga terhadap almamaternya yang dulu sempat mengabdi sekitar lima dekade.

Sifat yang harus diikuti oleh generasi penerus adalah ketekunan beliau dalam segala hal. Ide dan gagasan yang selalu muncul dari beliau merupakan hasil dari pengolahan jiwa dan jasad yang menyatu membentuk sebuah pemikiran diluar batas orang biasa. Tak jarang, ide yang disampaikan tak masuk di akal, kuno, bahkan belum bisa diterima oleh orang biasa. Namum ide itu membuktikan kebenarannya melintasi ruang dan waktu. Bahwa apa yang beliau sampaikan tidak dapat dipahami sepintas waktu, tetapi jauh ke depan melintasi waktu.

Bagaimanapun keadaannya, orang tua ini harus selalu kita jaga, baik keadaan fisik, jiwa, dan idealismenya. Presiden RI ke-6 dalam acara Penganugerahan Tanda Kehormatan Bintang Maha Putera di Istana Negara Jakarta tanggal 14 Agustus 2009 berpesan kepada saya : “Mas, tolong di jaga Bapak ya.” Jawab saya saya : “Baik Pak.”

Kepada generasi penerus pun juga harus menjaganya, bukan hanya fisiknya tetapai juga jiwa dan idealismenya. Tugas yang harus dipikul sekarang adalah memikirkan regenerasi, baik dari sisi “keilmuan maupun laku-nya” dalam menemukan wujud baru aliran pemikiran “sajogyo” yang berpihak pada petani miskin dan kelompok marjinal. Jangan hanya memanfaatkan kesempatan untuk memenuhi “kepentingan” tetapi juga harus bisa membawa jiwa dan cita-cita belai dalam upaya : “Membangun…. Membangun…. Membangun…” masyarakat Indonesia yang berkeadilan sosial. “Itu inti pesan beliau kepada generasi penerus.”