Buku yang merupakan hasil penelitian ini diterbitkan dengan tujuan untuk mendesiminasi satu dari sekian banyak ilmu pengetahuan yang belum terkuak di Mamasa. Selain itu, buku ini ingin menunjukkan bahwa Indonesia masih memiliki wilayah yang para petaninya masih mempertahankan cara produksi tradisional dalam bertani. Pilihan atas cara produksi ini, bukanlah berangkat atas “fanatisme adat”. Melainkan, petani belajar atas realitas alam mereka.
Buku ini tidak akan terbit tanpa adanya fasilitas atau dukungan pendanaan dari Veco Indonesia yang telah memberikan kepercayaan kepada kami. Juga Yayasan Duta Pelayanan Masyarakat (YDPM) yang telah banyak membantu kami selama pelaksanaan penelitian di lapangan.
Untuk itu, atas terlaksananya penelitian dan terbitnya buku ini, kami ucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada Veco Indonesia atas kepercayaan yang diberikan tersebut. Tak lupa ucapan terima kasih kami sampaikan kepada Kepala Desa Mambulilling dan Bambangbuda serta para informan yang telah memberikan informasi kepada kami dengan penuh kekeluargaan dan kehangatan selama berlangsungnya penelitian lapangan. Tanpa mereka, rasanya penelitian ini tidak akan memperoleh hasil sebagaimana yang diharapkan. Begitupun kepada kawan-kawan YDPM yang tak dapat kami sebutkan satu per satu, kami ucapkan terima kasih atas waktu dan kerjasamanya sewaktu penelitian lapang ini berlangsung. Khusus kami sampaikan kepada guru sekaligus orang tua kami Bapak Dr. Ir. Sajogyo atas saran dan masukan yang berharga dalam memperkaya penelitian ini. Juga kepada Bapak Dr. Ir. Bayu Krisnamurthi, MS (Wakil Menteri Pertanian RI) yang berkenan memberikan kata pengantar dalam buku ini. Serta kepada teman-teman di Bogor, kami sampaikan ucapan terima kasih atas persahabatannya.
Akhirnya, apa yang dihasilkan dari penelitian ini kiranya dapat dijadikan sebagai bahan pembelajaran bersama untuk “memuliakan petani” di Ibu Pertiwi ini.
Peradaban manusia sepanjang sejarah dunia ditentukan oleh perkembangan ilmu pengetahuan. Wibisono (1983) dalam bukunya menyatakan pada abad ke- 19 merupakan abad yang sangat berpengaruh terhadap kemajuan ilmu pengetahuan modern di dunia Barat, diantaranya : lahirnya filsafat positivisme.[1] Ilmu pengetahuan sebagai ilmu yang mempelajari keterkaitan yang berlaku di dalam dunia realitas menuju kepada kebenaran dalam menjawab realitas itu sendiri, sehingga ilmu pengetahuan di dunia ini selalu “berkembang” sesuai dengan konteksnya ke arah yang lebih maju.
Kemajuan ilmu pengetahuan itu sendiri telah melahirkan paradigma dalam mengungkap hakikat ilmu yang sebenarnya. Dalam Salim (2001), paradigma diartikan sebagai seperangkat kepercayaan atau keyakinan dasar yang menuntun seseorang dalam bertindak dalam kehidupan sehari-hari.[2] Paradigma ilmu pengetahuan tersebut membentuk model atau kerangaka berfikir para Ilmuan menurut bidang dan langkah-langkah ilmiah masing-masing di dalam menjawab realitas itu sendiri. Tradisi Descartes (1596-1650) dan para penerusnya yang mengembangkan cara pandang positivisme menjadi sejumlah aliran paradigma baru sebagai landasan ilmu pengetahuan dalam berbagai bidang kehidupan.
Manusia hidup di dunia yang selalu mengalami perubahan dalam semua aspek kehidupan. Suwarsono dan Alfin (1994) menyatakan teori modernisasi yang lahir pada tahun 1950-an merupakan paradigma utama.[3] Teori ini muncul pasca perang dunia II yang ditandai kemunculan Amerika Serikat sebagai Negara Adidaya dalam mempengaruhi Negara-negara berkembang yang baru merdeka (dunia ketiga) di Asia, Afrika, dan Amerika Latin. Namun teori ini mendapat kritik dengan munculnya teori ketergantungan dan keterbelakangan akhir 1960-an. Pada pertengahan tahun 1970-an muncul pula ke permukaan paradigma baru yang menguji isu-isu pembangungan, yaitu : teori sistem ekonomi-dunia (the world system). Ilmu pengetahuan bukan sesuatu yang statis, melainkan berjalan dinamis yang akan memberikan terwujudnya transformasi baru. Inilah yang menjadi tugas dunia pendidikan, mengamati semua aspek-aspek realitas kehidupan manusia dengan menemukan dan menjawab masalah-masalah sosial secara ilmiah.
Mangunpranoto (1978) mendefiniskan pendidikan ialah suatu usaha untuk mengantar manusia menemukan pribadinya sebagai orang dewasa yang dapat berdiri sendiri dan penuh tanggung jawab, sehingga dengan begitu ia dapat dengan bebas mengembangkan cipta, rasa, dan karsanya supaya bisa berbakti kepada nusa dan bangsa dan seluruh umat manusia.[4] Peran pendidikan dipahami bukan saja pada konteks mikro, melainkan juga pada konteks makro, yaitu kepentingan masyarakat negara, bangsa dan kemanusian.[5]
Paradigma pendidikan nasional dalam penataan dan pengembangan sistem pendidikan nasional mampu mengakomodasikan berbagai pandangan secara efektif sehingga terdapat keterpaduan dalam konsep. Brubacher dalam bukunya, Modern Philosophies Education (1978), memulai pembahasannya tentang hubungan pendidikan dengan perubahan sosial, tatanan ekonomi, politik, dan budaya Negara (Jalal, 2001). Sebab pendidikan terjadi di masyarakat, dengan sumberdaya masyarakat, dan untuk masyarakat, maka pendidikan dituntut untuk mampu memperhitungkan dan melakukan antisipasi terhadap perkembangan sosial, ekonomi, politik, dan budaya bangsa secara simultan.
Emile Durkhiem (1858-1917) sebagai seorang sosiolog optimis memandang pendidikan sebagai hak semua orang dan juga sebagai sarana kaum miskin untuk meningkat menjadi pemimpin-pemimpin masyarakat (Robinson, 1986).[6] Selanjutnya dalam Jong (1984) Durkheim mengira bahwa pendidikan dapat menjadi sarana untuk menanggulangi disintegrasi sosial yang ditimbulkan oleh pembagian kerja, dimana pendidikan untuk melayani kebutuhan masyarakat industri dalam keadaan perpecahan moril dan kekacauan sosial.[7] Menurutnya, kurikulum pendidikan di jaman Renaissance mengagungkan suatu kebudayaan elit yang ekslusif dan menutup bagi mayoritas penduduk. Di Indonesia, sistem pendidikan yang dilaksanakan oleh kaum penjajah memiliki tujuan tertentu, karena pendidikan ditujukan untuk kepentingan penjajahan, sehingga cara seperti itu mendapatkan pertentangan dari beberapa perguruan Nasional seperti Muhammadiyah, Taman Mahasiswa dan lain-lain, yang menggunakan pendidikan sebagai sistem perjuangan kebudayaan dan pengembangan masyarakat untuk mencapai cita-cita kemerdekaan bangsa (Mangunpranoto, 1978).
Durkheim dalam Jong (1984) menjelaskan bahwa masyarakat hanya dapat hidup langgeng apabila derajat homogenitas di antara para anggotanya mencukupi : pendidikan melangsungkan dan memperkuat homogenitas itu dengan menanamkan dalam diri anak sejak awal, persamaan-persamaan hakiki yang dituntut oleh kehidupan bersama, dengan demikian pendidikan hanyalah merupakan sarana bagi masyarakat untuk mempersiapkan, dalam diri anak-anak, kondisi yang hakiki dari kehadirannya sendiri. Lebih jauh lagi, Yusuf (1985) menyatakan bahwa revolusi industri membawa pengaruh yang luar biasa besarnya terhadap cara berfikir, berbuat dan merasa perorangan, keluarga dan masyarakat dimana terjadi atomisasi dari jalannya mesin-mesin pabrik mengakibatkan permintaan jenis tenaga kerja yang ahli, terampil, dan mahir mengontrol.[8] Inilah sebab-sebab mengapa paradigma pendidikan sangat dipengaruhi oleh kondisi sosial yang kontekstual, yaitu secara makro dan mikro mampu menjawab tantangan serta mengantarkan masyarakat menuju perubahan sosial yang baru menuju kehidupan yang demokratis, religius, dan tangguh menghadapi tantangan globalisasi yang semakin kompetitif dengan mempersiapkan peserta didik yang memiliki kapasitas di bidang keilmuannya masing-masing.
Dalam konteks kebudayaan, secara tradisonal pendidikan memiliki tugas dan peran secara konservatif harus meneruskan dan mengawetkan kebudayaan bangsa tersebut. Pendidikan di Indonesia mempunyai tantangan yang sangat kuat yang menyangkut masalah nilai, sikap, dan mental yang selalu dinamis. Menurut Koentjoroningrat dalam Yusuf (1985) bahwa sistem nilai budaya yang merupakan bagian dari kebudayaan yang berfungsi sebagai pengarah dan pendorong tingkah laku suatu masyarakat yang mempunyai konsep abstrak yang hidup dalam pikiran masyarakat, sehingga untuk merubahnya bukanlah pekerjaan yang mudah. Koentjoroningrat mendefinisikan sikap adalah potensi pendorong yang ada dalam jiwa manusia sebagai individu bereaksi terhadap lingkungannya yang dapat dipengaruhi oleh norma-norma serta konsep-konsep nilai-nilai budaya yang dianutnya.
Santoso (1981) menyatakan bahwa pendidikan sebenarnya merupakan suatu tugas etika dasar (a fundamental ethical basic) yang tidak boleh menyimpang dari sendi-sendi etika.[9] Sebab pendidikan itu mencakup pertimbangan-pertimbangan etik dan nilai-nilai budaya yang sifatnya mutlak untuk kehidupan manusia yang berbudaya dalam menjaga kehormatan pendidikan itu sendiri. Pendidikan adalah usaha sadar manusia untuk memanusiakan manusia yang mampu mengmbangkan akal, budi, dan dayanya hingga mampu mengatur dirinya, mampu berdiri sendiri, dan mencukupi segala kebutuhannya (magunpranoto, 1978). Membina kesadaran moral yang tinggi tidak hanya di peroleh dalam pendidikan formal saja melainkan di pendidikan non-formal seperti dituliskan Manheim dalam Jong (1984) bahwa salah satu penemuan yang paling menentukan dalam abad kita adalah bahwa pendidikan masyarakat (non-formal) itu lebih hebat dari pada pendidikan formal, dimana seperangkat nilai menjadi dasar integrasi sosial ke dalam apa yang dinamai ‘masyarakat demokratis.’
Pendidikan dalam kehidupan manusia sebagai alat perjuangan untuk memajukan hak dan martabat manusia itu sendiri. Paulo Freire dalam bukunya pedadogy of the oprpressed di bab pertama berbicara mengenai akan kebutuhan pendidikan bagi kaum tertindas bahwa pendidikan sebagai proses humanisasi dan merupakan panggilan manusia sejati yang harus diperjuangkandalam melawan penindasan dimana dunia dan manusia berada dalam interaksi.[10] Weiler dalam Robinson (1986) mencoba mencoba member corak pada sebagain besar mengenai pembahasan mengenai masalah-masalah Dunia Ketiga sebagai termasuk dalam suatu “zaman lugu” (age of innocence) yang berasumsi bahwa bagaimanapun pendidikan akan mendatangkan keadilan yang lebih besar pada distribusi penghasilan, barang-barang dan status. Akan tetapi ia juga berpendapat bahwa kini sedang muncul suatu “zaman skeptis,” dimana pendididkan dipandang sebagai tergantung pada perubahan-perubahan ekonomi politik masyarakat bersangkutan. Sebab sektor perekonomian modern Dunia Ketiga cenderung didominasi oleh perusahaan-perusahaan Negara dan Multinasional, dan memiliki daya tarik bagi masyarakat Dunia Ketiga oleh karena inilah sektor dimana upah dibayarkan secara teratur, yakni gaji bulanan. (Makalah Kerja Sektor Pendidikan Bank Dunia dalam Robinson, 1986).
Institusi pendidikan sebagai organisasi penyelenggara pendidikan harus mampu memiliki visi pendidikan yang mengutamakan kemandirian menuju keunggulan untuk meraih kemajuan dan kemakmuran berdasarkan nilai-nilai falsafah bangsa. Kemandirian diartikan mengandung sejumlah unsur penting, yaitu kemampuan, sifat-sifat demokratis, toleran, kreatif, kompetitif, estetis, kritis, bijaksana, dan moral (Jalal 2001). Untuk menjaga kemandirian tersebut, diperlukan lembaga pendidikan yang memiliki komitmen kuat dalam menjaga mutu sesuai dengan kecenderungan globalisasi dan kepentingan bangsa. Sebab salah satu tugas bangsa Indonesia adalah membangkitkan kesadaran dalam mengatasi masalah pengentasan kemiskinan, pengangguran, dan masalah-masalah sosial ekonomi lainnya dengan melakukan tindakan nyata melalui peningkatan kompetensi berbasis nilai dan budaya bangsa. Untuk itu, dibutuhkan metode pengajaran dan pembelajaran yang tidak hanya memandang pedidikan sebagai aspek mikro saja, melainkan peningkatan aspek makro dalam rangka membangun kesadaran kritis dalam melakukan perubahan sosial dan ekonomi bangsa. Penyelenggara pendidikan sebagai organisasi pelayanan memiliki tugas dan tanggung jawab dalam meningkatkan kualitas pendidikan. Dengan melakukan kontrol terhadap sistem pengendalain dan penilaian kelembagaan secara menyeluruh.
[1] Wibisono, Koento. 1983. Arti Perkembangan Menurut Filsafat Positivisme Auguste Comte. Gadjah Mada University Press: Yogyakarta.
[2] Salim, Agus. 2001. Teori dan Paradigma Penelitian Sosial(dari Denzin Guba dan Penerapannya). PT. Tiara Wacana: Yogyakarta.
[3] Suwarsono & Alvin Y. So. 1994. Perubahan Sosial dan Pembangunan. LP3ES : Jakarka.
[4] Mangunpranoto, Sarino. 1978. Pendidikan sebagai Sistem Perjuangan Kemerdekaan Indonesia. Yayasan Idayu: Jakarta.
[5] Jalal, Faisal & Dedi Supriadi. 2001. Reformasi Pendidikan dalam Konteks Otonomi Daerah. Adicita Karya Nusa: Yogyakarta.
[6] Robinson, Philips. 1986. Beberapa Perspektif Sosiologi Pendidikan. CV. Rajawali; Jakarta.
[7] Jong, S.C.N. de. 1984. Sosiologi Pendidikan; Suatu Ikhtisar tentang Pendidikan, Perkembangan dan Modernisasi. PT. Sangkala Pulsar: Jakarta.
[8] Yusuf, Maftuchah. 1985. Program Pendidikan dan Kebudayaan dalam Pembangunan Nasional. Fakultas Pascasarjana IKIP Jakarta bekerja sama dengan BKKBN: Jakarta.
[9] Santoso, Iman Slamet. 1981. Pembinaan Watak Tugas Utama Pendidikan. UI Press: Jakarta.
[10] Freire, Paulo. 1984. Pendidikan, Pembebasan, Perubahan Sosial. PT. Sangkala Pulsar: Jakarta.
Satu tahun sudah aku menjalani hidupku sebagai Asisten Pribadi Prof. Sajogyo. Pada tanggal ini beliau memintaku untuk menjadi asistennya untuk mendampingi beliau semasa hidupnya di akhir-akhir masa tuanya. Banyak pelajaran dan tantangan bersama beliau, pelajaran hidup adalah proses yang sangat aku rasakan bersamanya. Hidup penuh dengan ketabahan, kesabaran, dan ujian yang harus selalu dihadapi dengan tulus dan ikhlas, itulah yang aku rasakan hidup bersamanya.
Berprilaku arif dan bijaksana dalam setiap gerak kehidupan merupakan realitas kehidupan yang beliau jalani. Tidak ada kata yang beliau ucapkan kecuali kata yang bermakna sebagai pesan-pesan kehidupan kepada generasi penerusnya. Hidup dengan ketegasan dan keteguhan diri, berdasarkan akal pikiran dan hati, yang membuat kehidupan itu beliau selalu syukuri dalam keadaan suka dan duka.
Orang tua yang dalam keadaan lemah tak berdaya melawan realitas kehidupan yang dijalani, membuat diriku merasa kagum akan ketabahannya. Melalui latihan-latihan kejiwaan yang dilakukan sejak lima dekade yang lalu, sampai hari ini pun, beliau terus menjalaninya. Sebab dengan berserah diri kepada Sang Pemilik kehidupan, serasa hidup ini hanya beliau darma baktikan kepadaNya, Tuhan Sang Maha Pencipta langit dan bumi beserta isinya.
Hidup yang tidak selalu berlebihan, cukup sandang, pangan, dan papan. Makan dengan lauk-pauk seadanya, dilakukan dengan pelan-pelan, mengunyah sampai 30 kali setiap suapan sendok makan, minum setelah makan dihabiskan, merupakan ciri beliau dalam menyantap makanan. Berkeliling di halaman rumah di pagi hari sambil menjemur tubuh, sebagai bentuk mensyukuri nikmat sinar matahari yang menerangi bumi beserta isinya yang diperoleh secara gratis. Tak lupa sambil melihat jam tangan, pukul 06.15 – 07.05 WIB menyempatkan lihat bus IPB yang melintas di depan rumahnya, sebagai rasa bangga terhadap almamaternya yang dulu sempat mengabdi sekitar lima dekade.
Sifat yang harus diikuti oleh generasi penerus adalah ketekunan beliau dalam segala hal. Ide dan gagasan yang selalu muncul dari beliau merupakan hasil dari pengolahan jiwa dan jasad yang menyatu membentuk sebuah pemikiran diluar batas orang biasa. Tak jarang, ide yang disampaikan tak masuk di akal, kuno, bahkan belum bisa diterima oleh orang biasa. Namum ide itu membuktikan kebenarannya melintasi ruang dan waktu. Bahwa apa yang beliau sampaikan tidak dapat dipahami sepintas waktu, tetapi jauh ke depan melintasi waktu.
Bagaimanapun keadaannya, orang tua ini harus selalu kita jaga, baik keadaan fisik, jiwa, dan idealismenya. Presiden RI ke-6 dalam acara Penganugerahan Tanda Kehormatan Bintang Maha Putera di Istana Negara Jakarta tanggal 14 Agustus 2009 berpesan kepada saya : “Mas, tolong di jaga Bapak ya.” Jawab saya saya : “Baik Pak.”
Kepada generasi penerus pun juga harus menjaganya, bukan hanya fisiknya tetapai juga jiwa dan idealismenya. Tugas yang harus dipikul sekarang adalah memikirkan regenerasi, baik dari sisi “keilmuan maupun laku-nya” dalam menemukan wujud baru aliran pemikiran “sajogyo” yang berpihak pada petani miskin dan kelompok marjinal. Jangan hanya memanfaatkan kesempatan untuk memenuhi “kepentingan” tetapi juga harus bisa membawa jiwa dan cita-cita belai dalam upaya : “Membangun…. Membangun…. Membangun…” masyarakat Indonesia yang berkeadilan sosial. “Itu inti pesan beliau kepada generasi penerus.”