Rabu, 04 Maret 2009

14 FEBRUARI 2009

14 FEBRUARI 2009

Pada tanggal ini bertepatan pada hari Sabtu Pon atau 18 shafar 1430 H. Dimana pada hari ini merupakan hari yang bersejarah bagiku, mungkin aku orang yang sangat mencintai sejarah, sampai kejadian pada hari ini aku tuliskan dalam catatan harianku. Pada tanggal 14 Februari mungkin kebanyakan orang terutama pasangan muda-mudi yang saling memadu kasih, menjadikan hari ini sebagai hari kasih sayang atau yang biasa disebut Valentine’s Day. Biasanya sepasang kekasih tersebut saling menguatkan kasih sayang dan cintanya, berjalan mencari suasana baru dengan pemandangan yang indah, merayakannya dengan penuh senang dan gembira, atau memberikan sebuah cokelat untuk sang kekasih yang dicintainya.

Tanggal 14 Februari ini bagiku sendiri sangat berbeda maknanya. Pada hari itu, pukul 20.14 WIB aku menerima telepon dari Hand Phone yang berdering sekitar 5 kali di rumahku. Telepon itu bukan dari kekasihku, bukan dari orang tuaku, bukan dari sahabatku, atau bukan dari teman kerjaku. Tetapi dari orang tua yang sedang sakit dan dirawat di Rumah Sakit Harapan Kita (RSHS) Jakarta yang sedang menderita sakit gangguan pencernaan dan asam urat tinggi dan terbaring di RSHS. Siapakan orang tua itu???

Orang tua adalah Profesor Sajogyo. Seorang guru besar IPB yang berumur 83 Tahun (21 Mei 1926) yang memiliki jiwa kharismatik, sederhana, santun, berwibawa, dan memiliki intelektualitas terhadap kondisi sosial masyarakat miskin di Indonesia. Kiprah beliau sangat dikenal oleh berbagai kalangan, baik akademisi, politisi, aktivis, maupun masyarakat yang golongan menengah ke bawah, karena aktualisasi beliau terjun ke lapangan terutama di pedesaan pasca pensiun menjadi dosen di IPB tahun 1991.

Apa yang beliau sampaikan kepada lewat telepon???

Beliau bertanya kepadaku,,, Apakah anda bersedia menjadi asisten pribadi saya? Yang bertugas untuk mendampingi saya setelah dari rumah sakit?

Pertanyaannya cukup singkat dan padat. Tetapi bermakna dalam dan penuh dengan ketulusan.

Aku menjawab,,, dengan penuh keikhlasan hati dan niatan yang tulus untuk mendampingi beliau,,, aku jawab ; iya bapak, insya Allah saya bersedia untuk menjadi asisten pribadi bapak.

Beliau menjawab,,, iya terima kasih... wassalamu’alikum.

Jawabku,,, Wa’laikum salam.

Setelah beliau menutup teleponnya, akupun terdiam, merenung, dan berfikir dalam hati. Sebenarnya, mengapa bapak memilih saya??? Apa kelebihan saya dibandingkan dengan sahabat-sahabatku yang lain??? Apa yang bapak nilai dari dalam diri saya, sikap saya, kepribadian saya, atau perilaku saya???

Aku mengenal Prof. Sajogyo tahun 2005. Saat itu merupakan acara peresmian didirikannya Yayasan Sajogyo Inti Utama (SAINS). Sebuah lembaga yang beridiri atas inisiatif dari murid-murid beliau dalam rangka untuk mengaktualisasikan jiwa intelektualitas beliau yang berpihak kepada masyarakat miskin pedesaan di Indonesia. Aku terlibat aktif di Yayasan itu sampai sekarang, dan aku mengikuti proses belajar di pedesaan Kabupaten Poso selama 2 Tahun (awal 2007 - akhir 2008) dan baru ketemu beliau dengan dekat di awal tahun 2009.

Di awal tahun 2009 beliau menderita sakit dan harus dirawat di RSHS Jakarta. Dalam masa-masa beliau dirawat di RSHS, aku baru menemani dan menjaga beliau hanya 3 kali. Berbeda dengan teman-temanku yang harus menemani beliau sampai berhari-hari dan jarang pulang ke Bogor. Akupun merasa bahwa diriku sebelumnya tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan teman-temanku yang sangat perhatian sama beliau, bahkan dekat dengan beliau. Aku merasa diriku bukanlah orang yang memiliki kedekatan emosional yang dekat dalam kehidupan sehari-hari beliau. Bahkan aku juga bukan orang yang mungkin belum mendapatkan kepercayaan yang penuh dari beliau.

Tetapi.....

Tanggal 14 Februari 2009 aku sangat bersedih, sebab permohonan beliau untuk memintaku sebagai asisten pribadinya membuatku selalu termenung dengan alasan-alasan beliau memilihku...

Tapi aku harus tegar, aku tidak boleh terus bersedih, aku harus membuktikan bahwa amanah yang beliau minta kepadaku harus kujalani dengan baik, sabar, dan ikhlas. Aku sadari bahwa ini sangat berat, penuh dengan tantangan, dan energi yang besar. Bagiku, kalau ini dijalani dengan penuh ketulusan pasti akan bisa berjalan dengan baik. Itu prinsipku...

Terima kasih bapak, atas kepercayaan yang diberikan kepada saya. Semoga saya bisa menjalaninya dengan sabar, ikhlas, dan amanah. Amin...